Kabupaten Jepara
Lambang Kabupaten Jepara
Motto: Trus Karyo Tataning Bumi dari Bahasa Jawa yang artinya "Terus bekerja keras membangun daerah") Kabupaten Jepara terletak di pantura timur Jawa Tengah, dimana bagian barat dan utara dibatasi oleh laut. Bagian timur wilayah kabupaten ini merupakan daerah pegunungan. Wilayah Kabupaten Jepara juga meliputi Kepulauan Karimunjawa, yakni gugusan pulau-pulau di Laut Jawa. Dua pulau terbesarnya adalah Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan. Sebagian besar wilayah Karimunjawa dilindungi dalam Cagar Alam Laut Karimunjawa. Penyeberangan ke kepulauan ini dilayani oleh kapal ferry yang bertolak dari Pelabuhan Jepara. Karimunjawa juga terdapat lapangan terbang perintis yang didarati pesawat berjenis kecil dari Semarang.
Peta lokasi Kabupaten Jepara
Koordinat:
Kabupaten Jepara secara administratif
wilayah luas wilayah daratan Kabupaten Jepara 1.004,132 km2 dengan panjang garis pantai 72 km, terdiri atas 14 kecamatan yang dibagi lagi atas sejumlah 183 desa dan 11 Kelurahan Wilayah tersempit adalah Kecamatan Kalinyamatan (24,179 km2) sedangkan wilayah terluas adalah Kecamatan Keling (231,758 km2). Sebagian besar luas wilayah merupakan tanah kering, sebesar 740,052 km2 (73,70%) sisanya merupakan tanah sawah, sebesar 264,080 km2 (26,30%).
Secara Administratif Kabupaten Jepara terbagi dalam 5 wilayah, yaitu:
- Jepara Pusat: Jepara, Tahunan
- Jepara Selatan: Welahan, Kalinyamatan
- Jepara Utara: Karimunjawa, Mlonggo, Bangsri, Kembang, Donorojo, Keling
- Jepara Barat: Kedung, Pecangaan
- Jepara Timur: Batealit, Mayong, Nalumsari Pakis Aji
Situs web http://www.jeparakab.go.id/
Potensi Jepara dikenal sebagai kota ukir, karena terdapat sentra kerajinan ukiran kayu ketenarannya hingga ke luar negeri. Kerajinan mebel dan ukir ini tersebar merata hampir di seluruh kecamatan dengan keahlian masing-masing. Namun sentra perdagangannya terlekat di wilayah Ngabul, Senenan, Tahunan, Pekeng, Kalongan dan Pemuda. Selain itu, Jepara merupakan kota kelahiran pahlawan wanita Indonesia R.A. Kartini.
Potensi Kabupaten Jepara : Industri Mebel Ukir Jepara. Industri ini tersebar luas di hampir semua kecamatan Jepara, kecuali Kecamatan Karimunjawa.
- Seni Relief, di Senenan
- Kerajinan Patung, di Mulyoharjo
- Kerajinan Perhiasan Emas, di Margoyoso
- Kerajinan Monel, di Kriyan
- Kerajinan Besi (Pande Besi), di Purwogondo
- Kerajinan Ukir Gebyok, di Gemiring Lor dan Gemiring
Kidul
- Kerajinan Tenun Ikat, di Troso
- Kerajinan Mainan Anak-anak, di Karanganyar
- Kerajinan Kreneng, di Gidangelo
- Kerajinan Anyaman Bambu, di Kendengsidialit
- Kerajian Rotan, di Telukwetan
- Kerajinan Gerabah, di Mayong Lor
- Kerajinan Payung Kertas, di Brantaksekarjati
- Konveksi, di Sendang
- Industri Rokok, di Robayan
- Industri Roti, di Bugo
- Industri
Genteng, di Mayong
Kidul
- Industri
Batu Bata, di Kalipucang Kulon
- Sentra Jeruk, di Bategede
Etimologi
Dari sisi etimologisnya Jepara dulunya menurut C. Lekkerkerker berasal dari kata Ujungpara. disebut ujungpara karena dahulu ada orang dari Majapahit yang sedang berjalan melewati daerah yang sekarang disebut Jepara, melihat nelayan yang sedang membagi-bagi ikan hasil tangkapannya "membagi" dalam bahasa jawa adalah "Para" (dibaca: Poro), maka pengembara tersebut menceritakan di kota tujuannya bahwa dia melewati Ujung Para karena dia melewati ujung pulau Jawa yang ada yang membagi ikan. Yang kemudian berubah menjadi Ujung Mara, dan Jumpara, yang akhirnya berubah menjadi Japara pada tahun 1950an diubah menjadi Jepara hal itu dibuktikan adanya Persijap (Persatuan Sepakbola Japara). Kata Ujung dan Para sendiri berasal dari bahasa jawa, Ujung artinya bagian darat yang menjorok ke laut dan Para yang artinya menunjukkan arah, yang digabung menjadi suatu daerah yang menjorok ke laut. Letak geografis memang menempatkan Jepara di semenanjung yang strategis dan mudah di jangkau oleh para pedagang. Para dari sumber yang lain diartikan Pepara, yang artinya bebakulan mrono mrene, yang kemudian diartikan sebuah ujung tempat bermukimnya para pedagang dari berbagai daerah. Orang Jawa menyebut menyebut nama Jepara menjadi Jeporo, dan orang Jawa yang menggunakan bahasa krama inggil menyebut Jepara menjadi Jepanten, dalam bahasa Ingris disebut Japara, Sedangkan orang Belanda menyebut Yapara atau Japare.
Sejarah
Jauh sebelum adanya kerajaan-kerajaan di tanah Jawa. Di ujung sebelah utara pulau Jawa sudah ada sekelompok penduduk yang diyakini orang-orang itu berasal dari daerah Yunnan yang kala itu melakukan migrasi ke arah selatan. Jepara saat itu masih terpisah oleh selat Juwana.
Abad 7 sampai abad 9
Pada abad ke 7 di Jawa terdapat sebuah kerajaan bernama Ho-Ling yang oleh para pakar disamakan dengan Kalingga. Diduga kerajaan itu berada di Jepara dengan Ibu Kota Kerajaan terletak di sekitar lokasi Benteng Portugis, di Kecamatan Keling. Pada 618-906 M Kalingga diperintah oleh seorang raja perempuan bernama Ratu Shima, seorang penganut agama Hindu yang merintis kerajaannya menjadi kota pelabuhan. Kelak, kota pelabuhan itu banyak dikunjungi oleh kapal asing, baik yang datang dari India, Arab, Cina, Kamboja, maupun dari Eropa Barat. Jepara kemudian menjadi sangat ramai oleh kesibukan di bidang pelayaran, perniagaan, perdagangan dan menjadi salah satu pintu gerbang masuknya berbagai pengaruh asing. Akibatnya, di satu sisi telah terjadi proses urbanisasi, di sisi lain terjadi akulturasi seni dan budaya.
Kerajaaan Kalingga berlangsung sejak abad ke 7 sampai abad ke 9, sesudah itu pusat kerajaan berpindah ke selatan untuk selanjutnya bergeser ke Timur (Majapahit). Pada tahun 1292, Jepara yang saat itu dikuasai oleh Sandang Garba seorang raja yang juga pedagang kaya, telah termasyhur sampai ke negeri Spanyol, diserang oleh Dandang Gendis yang menguasai Tuban dan Kahuripandi Delta Sungai Brantas yang sudah maju, karena dianggap menjadi pesaing sebagai Kota Pelabuhan, dengan dibantu oleh bangsa Cina.
Abad 11 sampai abad ke 15
Pada abad ke 11 sampai ke 15 saat masa kejayaan Kerajaan Majapahit menjalin hubungan dengan Campa dan Cina. Para penguasa kerajaan saling berkunjung dan memberi upeti, namun yang terjadi kadang-kadang sebaliknya, saling menyerang dan menguasai untuk meluaskan pengaruh kekuasaan, wilayah perniagaan, dan daerah perdagangan. Di samping itu, para sufi dan penyebar agama Islam juga berdatangan, diantaranya, Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah), selain sebagai pelopor dan penyebar Islam. Pada masa tersebut Jepara tengah dipimpin oleh Arya Timur (1470) yang meskipun berada di bawah kekuasaan Majapahit, namun telah mampu mengembangkan kekuasaannya hingga ke Bengkulu dan Tanjung Pura. Benteng kayu dan bambunya serta pelabuhannya yang ramai di lukiskan sebagai pelabuhan terbaik selama perjalanan Tome Pires dari Portugis ke Maluku dalam buku Suma Oriental.
Pada Tahun 1507 Jepara dipimpin oleh Adipati Unus anak dari Arya Timur dan semakin berkembang pesat sebagai kota pelabuhan dan pusat perdagangan beras. Kekuatan pertahanannya juga cukup hebat dengan kemampuan pasukannya pada tahun 1511 yang berperang sampai ke Malaka untuk mengusir portugis yang akan memonopoli perdagangan dan menguasai pintu keluar masuk perdagangan di Malaka. Dimulai dari situlah kemudian muncul kerajaan-kerajaan Islam, salah satunya yang menonjol adalah Kerajaan Demak. Pada masa kerajaan ini Jepara merupakan salah satu daerah kekuasaan Raden Fatah, ayahanda Sultan Trenggono, Eyang dari Retno Kencana, yang nantinya bergelar Nimas Ratu Kalinyamat. Beliau menikah dengan Raden Thoyib, seorang pangeran dari Kerajaan Aceh yang telah lama melalang buana sampai Cina pada tahun 1536. Raden Thoyib inilah kemudian naik tahta dan berkuasa di daerah Jepara dengan gelar Sultan Hadlirin bersama Retno Kencana, dan menempati area kraton di Kalinyamat, sebuah tempat berjarak kurang lebih 18 km dari Jepara.
Kalinyamat atau yang disebut Cherinma atau Cherinhama pada waktu itu dianggap sebagai daerah yang sakral sebagai tinggalnya para raja-raja Demak, termasuk tempat bertirakatnya Sunan Kalijaga. Sultan Hadlirin kemudian mengangkat Cie Hwie Gwan, ayah angkatnya selama di Cina yang ahli di dalam seni ukir dan pahat, yang ikut dengannya sebagai patih dengan gelar Patih Sungging BadarDuwung. (Sungging = memahat, Badar = batu, Duwung = Tajam) Karena di Jepara tidak ditemukan batu putih seperti di Cina, media kayu pun kemudian digunakan sang Patih untuk berkreasi yang kemudian menularkan kemampuan mengukirnya kepada masyarakat Jepara secara turun menurun.
Perkembangan selanjutnya sejarah Jepara di bawah kepemimpinan Ratu Kalinyamat 1549-1579, menggantikan peran sang suami yang dibunuh suruhan Arya Penangsang sesaat sesudah menemui Sunan Kudus untuk mengklarifikasi meninggalnya Raden Prawoto, kakak kandung Ratu Kalinyamat yang juga dibunuh oleh Arya Penangsang sebagai bagian dendam masa lalu. Ayah Arya Penangsang, Pangeran Sedo Lepen putra mahkota semestinya Sultan Demak dibunuh oleh Prawoto sebagai upaya mengalihkan pewaris tahta ke ayahnya yaitu Sultan Trenggono. Ratu Kalinyamat sempat bersumpah dan bertapa, mulai dari benteng bukit danaraja sampai akhirnya di Pertapaan Sonder Tulakan, meninggalkan atribut ke-Ratu-annya dan bersumpah belum kembali sampi Arya Penangsang dibunuh. Arya Penangsang sendiri dibunuh pada tahun 1549 juga Danang Sutawijaya, anak angkat Sultan Hadiwijaya, adik kandung Ratu Kalinyamat yang bersama-sama berusaha untuk menumpas Arya Penangsang yang selalu menggerogoti Kasultanan Demak. Selama berkuasa pelabuhan Jepara berkembang semakin pesat, dengan semakin majunya teknologi galangan perkapalan waktu itu. Tidak hanya pertahanan, perekonomian pun semakin berkembang, dengan semakin terjalinnya hubungan yang erat dan solidaritas sesama pedagang pribumi yang semakin diganggu oleh keberadaan Portugis. Dari segi pemerintahan dan penataan kota, mulai dibangun Masjid Mantingan sebagai salah satu konsep Masjid-Makam-Keraton, karena di sanalah disemayamkan Sultan Hadlirin, pada tahun 1559 dengan sengkalan Rupa Brahmana Warna Sari. Di Masjid Mantingan ini kebudayaan dikembangkan pada ornamen-ornamen yang digunakan berupa ukiran dengan motif suluran flora dan fauna yang disamarkan. Tipologi bangunan dengan konsep perpaduan Islam-Hindu terlihat jelas pada bentuk bangunan serta gapura yang berbentuk lengkung. Di dekat Masjid Mantingan tersebut didalamnya terdapat petilasan sebuah candi hindu yang sudah hilang. Kaligrafi juga berkembang pesat.
Perkembangan sejarah Jepara selanjutnya adalah pemerintahan oleh Pangeran Arya Jepara (1579-1599), merupakan anak angkat dari Ratu Kalinyamat. Pansi Pada masa inilah kemerosotan Kota Jepara sebagai kota pelabuhan mulai dirasakan. Faktor ekspansi Kerajaan Pajang yang dulunya membiarkan Jepara berkembang ternyata lambat laun mulai digerogoti daerahnya karena pertimbangan ekonomi.
Abad 16 sampai abad ke 18
Hal ini diperparah dengan kedatangan VOC pada tahun 1613, dengan politik dagang monopolinya. VOC semakin kuat setelah mendapatkan legalisasi Raja Mataram Amangkurat II untuk membuat benteng pada tahun 1680. Setelah era kerajaan Jepara runtuh, diperkirakan terjadi kekosongan penguasa, sehingga sampai tahun 1616 tidak tercatat sejarah siapa yang memimpin Jepara. Baru pada tahun tersebut, Jepara tercatat dipimpin oleh Kyai Demang Laksamana yang kemudian digantikan berurut-urut oleh Kyai Wirasetia, Kyai Patra Manggala, Kyai Wiradika, Ngabehi Wangsadipa, Kyai Reksa Manggala, Kyai Waradika, Ngabehi Wangsadipa (jabatan kedua), Ngabehi Wiradika, Wira Atmaka, Kyai Ngabehi Wangsadipa, Tumenggung Martapura, Temenggung Sujanapura, Adipati Citro Sumo I, Citro Sumo II, dan Adipati CitroSumo ke III yang sekaligus menutup sejarah era Kerajaan Mataram di Jepara dan masuk pada era kekuasaan Belanda. Pelabuhan Jepara semakin sepi dengan munculnya sedimentasi yang menyebabkan Jepara yang dulunya terpisah, sekarang menyatu dengan daratan. Semua aktifitas pelabuhan mulai pindah ke Semarang pada tahun 1697. Faktor lingkungan ini diperparah dengan konflik antara penduduk lokal dengan VOC dengan dibakarnya benteng sebanyak 2 kali. Puncaknya pada tahun 1743, Raja Mataram Kartasura Pakubuwono II, menyerahkan semua pengelolaan pelabuhan sepanjang Pantai Utara Jawa kepada Belanda sebagai bagian dari balas jasa diperang Pacina.
Selanjutnya Jepara dipimpin oleh Adipati Citro Sumo III yang kemudian digantikan oleh Citro sumo IV, Citro Sumo V, dan Adipati Citro Sumo VI. Setelah Adipati Citro Sumo VI, Jepara kemudian dipimpin oleh Temenggung Cendol. Namun jabatan ini tidak lama, karena Setelah Adipati Citro Sumo VI kembali dari Tuban tahun 1838, ia mendapatkan kepercayaan untuk menjabat sebagai Bupati Jepara yang kemudian di lanjutkan oleh Adipati Citro Sumo VII. Pada tanggal 22 Desember 1857, ia digantikan oleh iparnya yang bernama Raden Tumenggung Citro Wikromo, yang kemudian berturut-turut di gantikan oleh K.R.M.A.A. Sosroningrat.
Abad 19
Pada abad ke-19 R.M.A.A. Kusoemo Oetaya diangkat sebagai Bupati tepatnya tahun 1905. Masa pemerintahannya bersamaan dengan munculnya pergerakan nasional yang menandai kebangkitan Bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Kemudian Soekahar diangkat tahun 1927. Masa pemerintahan bupati ini berakhir bersamaan dengan jatuhnya Hindia Belanda ketangan Militer Jepang bulan Maret 1942, yaitu beberapa waktu setelah tentara Jepang berada di Jepara. Pada awal kekuasan Jepang, Bupati Jepara dipercayakan pada R.A.A. Soemitro Oetoyo yang menjabat hingga awal kemerdekaan, yaitu hingga bulan Desember 1949.
Seni Budaya
Di kabupaten Jepara terdapat berbagai jenis kesenian,
yaitu:
- Samroh
- Gambus
- Angguk
- Dagelan
- Kentrung
- Emprak
- Ludruk
- Ketropak
- Keroncong
Jenis kesenian tradisional Samroh, Gambus, dan Angguk, semuanya bernafaskan Islam.
Jenis kesenian tradisional lainnya adalah dagelan, emprak, ketropak, ludruk, kentrung, dan keroncong. Melalui beberapa kesenian tradisional ini, pemerintah menggunakannya untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat misalnya mengenai pembangunan dan keluarga berencana.